Memulai Usaha dengan Mimpi
Islahuddin
Suasana penuh keakraban terlihat pada acara
launching Young Enterpreneurshiop Start Up (YES) Club Jakarta, Maret lalu di
gedung Design Center Jakarta. Walau acara itu baru digelar di hari pertama,
para peserta yang berjumlah sekitar 25 orang nampak akrab berinteraksi. Sesi
terakhir yang banyak diisi tanya-jawab, pun menjadi ajang yang sangat meriah.
Pada sesi itu, masing-masing peserta diberi waktu melontarkan usaha yang telah
mereka rintis, dan cita-cita mereka sebelumnya.
Suasana seperti ini sangat disyukuri Direktur YES
Club Jakarta, Himawan Adibowo. “Yes Club belum berumur satu hari, tapi rupanya
sudah terbentuk kerja sama bisnis di dalamnya,” ujar Himawan sambil tersenyum.
Dari peserta yang sebagian besar merupakan mahasiswa
itu, tak satupun mempunyai usaha berskala besar. Bisa dibilang rata-rata hanya
bermodalkan nekat. Azuz Saputra misalnya, mahasiswa semester enam Jurusan
Manajemen di School of Bussines and Management (STIEKPI), selain mau belajar,
ia juga harus menjauhkan gengsi untuk memulai dan menggeluti usahanya.
Saat ini, bersama seorang rekannya, Azuz sukses
menjadi distributor kentang goreng kemasan di areal kampusnya. Menurut Azuz,
sudah bukan saatnya lagi masyarakat menilai suatu pekerjaan itu bergengsi atau
tidak. Karena yang terpenting adalah bagaimana bisa terus berusaha dan
menghasilkan uang sendiri.
Memang diakuinya, bahwa usaha yang ia jalani sejak
tiga bulan lalu itu sangat kecil. Hanya bermodal awal 80 ribu rupiah yang ia
belanjakan untuk membeli 40 bungkus kentang goreng kemasan, saat itu ia sanggup
menjualnya habis dalam tempo empat hari. Kini, setiap bulan Azuz minimal mampu
mengantongi laba 800 ribu rupiah.
Jumlah rupiahnya memang kecil, tapi bagi Azuz yang
penting adalah bagaimana menumbuhkan keberanian untuk berusaha, dan memutus ketergantungan
pada orangtua. Ia berharap, pengalaman menjadi distributor kecil-kecilan ini
menjadi modal untuknya kelak menjalani bisnis yang lebih besar.
Tidak Memilih Rezeki
Dari cerita dan pengakuan yang dipaparkan para
peserta Yes Club, terbukti bahwa modal nekat, tahan malu, dan berkhayal, telah
banyak mengantarkan para pengusaha untuk memapak sukses dari nol.
Farry Iskandar juga membuktikannya. Sebelum menjadi
pengusaha alat-alat petualangan yang dipasarkan secara online, Ferry bekerja
sebagai karyawan di sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Walau gaji tak
besar, bekerja di LSM membuat Ferry nyaman mendapat penghasilan tetap.
Suatu ketika, Ferry memutuskan berhenti menjadi
karyawan dan memilih membuka usaha sendiri. Keputusan itu tentu disayangkan
banyak rekan dan kerabatnya. Apalagi di masa awal usaha, Ferry sering menggelar
dagangan di emperan jalan sekitar kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
setiap Minggu pagi.
Belum lagi tekanan mental yang harus dirasakan Ferry
akibat anggapan miring masyarakat yang menilai bekerja di kantor lebih
terhormat daripada berdagang di emperan jalan. “Masa awal memulai usaha sangat
menyedihkan. Banyak yang menganggap pekerjaan ini sebelah mata,” ujar Ferry.
Pada 2004, bermodal uang delapan juta rupiah di
tangan, Ferry jalankan usaha dengan keyakinan bahwa itulah satu-satunya pilihan
terbaik untuk meningkatkan penghasilan dirinya. Apalagi saat itu ia sudah ingin
berumahtangga, yang ia sadari, kelak tentunya ia butuh penghasilan lebih tiap
bulannya untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Tak keliru Ferry memilih jalan hidupnya. Saat ini
terbukti ia bisa menikmati limpahan keuntungan hasil usaha dan buah strategi
dirinya untuk terus berjuang dan tak memilih-milih rezeki. Meski banyak
perusahaan besar yang bergerak di bidang yang sama, namun Ferry tak gentar.
Karena mereka jarang melayani partai eceran, apalagi via online seperti yang ia
lakukan.
Kini usahanya perlahan berkembang, tak kenal lelah
ia terus berupaya membesarkannya lagi. ”Sampai sekarang, saya masih terus
berjuang menggapai mimpi yang besar,” tandas Farry.
Usaha Tiada Henti
Kisah serupa namun tidak sama juga dialami Edi
Kurniawan, mantan karyawan sebuah perusahaan otomotif di wilayah Tangerang.
Suatu ketika, komunitas Tangan di Atas (TDA) menggelar kegiatan magang yang
disebut TDA Apprentice.
Walau kegiatan magang berskala tiga bulan itu tidak
memberinya gaji ataupun uang transport, namun berkat keinginan untuk belajar
dan menggali ilmu menjadi pengusaha, Edi berani memutuskan untuk meninggalkan
kemapanan hidup sebagai karyawan.
Saat itu peserta magang berjumlah sepuluh orang,
yang ditempatkan di stan milik Haji Alay di kawasan grosir Tanah Abang, Jakarta
Pusat. Namun hanya dua orang yang sanggup mengikutinya sampai akhir, salah
satunya adalah Edi. Selama magang, Edi memperhatikan adanya celah menjanjikan
dari prospek bisnis online. Maka selepas magang, ia memilih usaha jual beli
pakaian bayi usia tiga tahuan ke bawah secara online. Dan pengetahuan tentang
dunia garmen yang ia dapat selama magang, sangat membantu perkembangan
usahanya.
Edi memiliki alasan kuat mengapa ia bersikeras
beralih profesi menjadi pengusaha. Karena ia sangat yakin, bahwa dunia usaha
tak ada matinya, selama orang mau berusaha. Keyakinan itu semakin besar ketika
Haji Alay, yang merupakan saudagar sukses di Tanah Abang, memotivasinya. Haji
Alay sering menekankan, bahwa uang berserakan di mana-mana, dan terus berputar
selama 24 jam. Dengan sepuluh tangan sekalipun, kita tak akan sanggup memunguti
semua serakan itu, kecuali kita mengetahui caranya.
Jerih payah yang dimulai sejak dua tahun itu kini
telah menuangkan hasil. Selain bergerak di bisnis online, Edi juga telah
mempunyai dua buah toko di Gedung Jakarta City Center (JaCC). Omset rata-rata
perbulan yang ia dapat bisa mencapai 100 juta rupiah, dengan 70-80% berasal
dari penjualan online.
Menurut Edi, dua tahun bukanlah waktu yang lama.
Namun selama itulah kemampuan seseorang untuk bertahan dalam berusaha
ditentukan. Salah perhitungan memang sempat dirasakan Edi, namun itu ia jadikan
sebagai ilmu yang tak ternilai, yang ia jaga agar tidak kembali terulang di
masa mendatang.
Belajar dari Mimpi
Sementara itu, Atik Wahyu Naryati pengusaha budidaya
jamur, kini telah menuai hasil jerih payahnya. Atik yang memulai usaha di akhir
2005 lalu, pada pertengahan 2006 saja sudah menuai hasil yang cukup signifikan,
dan usahanya berkembang kian stabil. Bermodal awal hanya enam juta rupiah di
tangan, kini setiap bulan Atik menuai sekitar 5-10 juta rupiah keuntungan.
Di bawah bendera CV Fanindo Multi Farm, berbagai
jenis jamur kini ia budidayakan. Agar bisa diedarkan ke berbagai tempat dengan
mudah, ia kemas bahan dagangannya dalam bentuk jamur kering. Karena
keberhasilannya itu, banyak orang dari berbagai daerah datang kepadanya untuk
belajar. Dengan tangan terbuka Atik menerimanya.
Kisah sukses juga ditorehkan Masbukhin and Nuni.
Pasangan harmonis lulusan Universitas Brawijaya Malang ini, memulai bisnis
telepon seluler sejak 2003 lalu. Mereka berdua mendobrak kemapanan tradisi para
sarjana yang biasanya lebih memilih berpakaian necis dan menjadi karyawan
kantoran.
Masbukhin and Nuni kini sukses memiliki beberapa
outlet grosir di Pulogadung Trade Center dan tempat-tempat lain di Jakarta.
Seluruhnya tergabung di bawah payung PT Prima Prada Cellular (PCC) yang mereka
dirikan.
Bermodal mimpi ingin menjadi sukses, awalnya mungkin
banyak dicemooh orang sekitar. Namun jika ingin menjadi pengusaha sukses, modal
nekat merupakan salah satu hal yang harus dimiliki.
Hal ini sangat tegas diakui pengusaha sukses Martha
Tilaar. Jatuh bangun usaha yang dilakukan ikon kecantikan Indonesia sejak awal
dekade 70-an itu, kini terlihat hasilnya. Usahanya terus menggurita. “Jika
ingin menjadi pengusaha, kita harus berani untuk nekat, dan menggantungkan
mimpi setinggi langit,” tegas Martha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar