Anak Korban Perilaku Menyimpang Ibu
Yayah Hidayah, M.si.
Ibu, sosok yang akan terus memberi rasa kasih,
sayang, kelembutan, cinta, dan perlindungan kepada anaknya, tanpa kenal batas
waktu. Ibu yang baik akan menjadi pahlawan bagi anaknya. Ia akan berjuang
mati-matian demi keselamatan anaknya. Maka, jika ada perilaku seorang ibu yang
menyia-nyiakan anaknya, berarti ia patut dicurigai memiliki perilaku yang
menyimpang.
Sebab, pola asuh yang baik dan memadai semasa
balita, sangat urgen demi perkembangan fisik dan psikis anak. Menurut Wenar
(1991), ketiadaan pengasuhan yang memadai setelah terbentuknya ikatan cinta
kasih di antara anak dengan pengasuh, akan menyebabkan perilaku anak yang
menyimpang. Karena dampak dari rasa kehilangan akan sangat dirasakan sebagai
suatu penolakan atau pengabaian.
Anak balita yang dipisahkan dari orangtuanya, baik
karena terpaksa atau disengaja, akan tumbuh dalam jiwanya perasaan tak aman dan
tak nyaman. Ia akan mengalami gangguan kepribadian atau kesulitan menyesuaikan
diri di masa mendatang.
Dengan pemahaman yang masih terbatas dan sempit
tentang suatu kejadian yang menimpanya, anak akan memahami bahwa peristiwa yang
ia alami sebagai bentuk penolakan atas keberadaan dirinya. Ia akan merasa tidak
cukup dipandang dan tidak berharga di mata keluarganya, hingga tak pantas untuk
dicintai. Jika hal ini berlanjut hingga anak menyadari -selepas masa balita-,
maka akan timbul trauma dalam pembentukan identitas dan penyesuaian dirinya
dalam kehidupan.
Karena itu, perilaku ibu dan kepribadiannya harus
diperhatikan, agar perkembangan kepribadian anak yang diasuhnya tidak
terganggu. Berikut ini beberapa aspek psikologis negatif ibu yang sangat
berbahaya terkait pengasuhan anak.
Gangguan Jiwa
Peneliti Rose Cooper Thomas yang melakukan
penelitian terhadap hubungan ibu dan anak, menemukan bahwa ibu yang mengalami
gangguan jiwa schizophrenia (kecenderungan perilaku yang acuh tak acuh),
dominan atau cenderung akan menghasilkan karakter anak yang perilakunya suka
memberontak, jahat, menyimpang, bahkan anti-sosial. Namun ada pula anak akan
menjadi suka menarik diri, pasif, terlalu tergantung dan kelewat penurut.
Peneliti lain mengemukakan bahwa gangguan jiwa ibu
akan berakibat terganggunya perkembangan identitas anak. Dan gangguan obsesif
kompulsif yang dialami orangtua juga sangat erat berdampak pada sikap mereka
untuk mengabaikan anaknya. Sebab, gangguan ini menjadikan penderitanya lebih
banyak memikirkan dan melakukan ritual-ritual sendiri daripada tanggung jawab
mengasuh anaknya.
Ada lagi gangguan kejiwaan ibu yang berbahaya bagi
anak. Yaitu Munchausen Syndrome by Proxy (MSbP), berupa gangguan mental yang
biasa dialami wanita atau seorang ibu terhadap anaknya. Biasanya terjadi pada
bayi atau anak balita.
Dalam penyakit yang digambarkan pertama kali oleh
Meadow pada tahun 1977 ini, dideteksi adanya unsur kebohongan yang bersifat
patologis dalam kehidupan sehari-hari ibu yang terus menerus. Pada kasus yang
parah, ibu yang melakukannya justru kelihatan lemah lembut dan baik. Gangguan
jiwa yang berbahaya ini bisa berakibat pada kematian anak. Karena pada banyak
kasus, ditemukan ada ibu yang sampai hati menyekap, atau mencekik, bahkan
meracuni anaknya.
Pada kasus-kasus ini sering ditemukan adanya sejarah
gangguan perilaku antisosial pada ibu, mungkin disebabkan pengalaman yang
dialami oleh ibu itu pada pola asuh yang salah dari orang tuanya. Pada kasus
lain ditemukan bukti bahwa ternyata ibu tersebut mengalami gangguan somatis
seperti contohnya (menurut istilah medis) gangguan neurotik, hypochondria, atau
gangguan yang bersifat semu lainnya). Ditemukan pula, bahwa ibu-ibu yang tega
melakukan hal ini terhadap anaknya ternyata mengalami gangguan kepribadian yang
cukup parah.
Depresi
Peneliti Chaffin, Kelleher dan Hollenberg (1996)
terhadap anak-anak yang orangtuanya mengalami depresi atau psikopatologi
menemukan fakta banyaknya anak yang mengalami penyiksaan fisik. Akibatnya,
korban anak-anak dilaporkan mengalami banyak masalah kejiwaan, seperti depresi,
interpersonal, perilaku yang aneh dan bermasalah dalam belajar.
Pecandu Minuman
Keluarga alkoholis cenderung tidak stabil. Segala
aturan dapat berubah setiap waktu, dan seringnya mudah mengingkari janji.
Kecenderungan ini terbawa pula dalam urusan pola asuh mereka terhadap anak.
Pola asuh yang diterapkan orangtua alkoholis akan sering berubah-ubah secara
acak. Ini menyebabkan tidak ada celah bagi anggota keluarga untuk mengungkapkan
perasaan secara normal, karena banyaknya batasan, aturan dan larangan dalam
keluarga.
Karena hal ini merupakan aib keluarga, biasanya
anggota keluarga akan menutupnya agar tidak diketahui orang lain. Situasi ini
akan melahirkan perasaan tertekan, frustrasi, marah, tidak nyaman dan gelisah
di hati anak. Ia akan sering berpikir bahwa ia telah melakukan suatu kekeliruan
yang menyebabkan orangtuanya memiliki kebiasaan buruk. Akibatnya, akan timbul
rasa tak percaya, kesulitan mengekspresikan emosi secara tepat, dan kesulitan
menjalin hubungan sosial yang erat. Dan masalah ini akan terus terbawa hingga
ia dewasa.
Menurut para ahli, anak-anak dari keluarga seperti
ini lebih beresiko mengembangkan kebiasaan alkoholis di masa dewasa. Menurut
Chaffin, Kelleher dan Hollenberg (1996), para pecandu obat terlarang, menjadi
faktor paling umum penyebab terjadinya penyiksaan dan pengabaian terhadap anak,
dan pengasuhan anak dengan cara yang keliru.
Masalah Perkawinan
Keluarga yang bermasalah, akan berpengaruh pada
ketidak-keharmonisan keluarga, dan dampaknya akan buruk pada kehidupan
emosional anak. Karena para anggota keluarga akan kian merasakan beban mental
atau tekanan emosional yang terus meningkat. Beban ini akan semakin berat
apabila suasana keluarga terasa mencekam, tak ada yang berani mengemukakan
emosi, pikiran, dan tiada lagi keleluasaan untuk bertindak.
Pada umumnya, anak akan menjadi korban pelampiasan
ketegangan, kecemasan, kekesalan, kemarahan dan segala emosi negatif yang tidak
bisa dikeluarkan itu. Sebab, anak berada pada posisi lemah, sehingga mudah
menjadi sasaran agresivitas orangtua tanpa perlawanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar