Sabtu, 26 Januari 2013

Memahami Keunikan Diri



Memahami Keunikan Diri

Agus Riyanto
Motivator, Penulis buku Born To Be A Champion: Menguak Fakta Diri Untuk Meraih Kemenangan Sejati
Seorang sahabat memaparkan pertanyaan sepanjang satu halaman ke email saya. Inti yang dimaksud adalah apakah manusia itu dilahirkan dengan kemampuan otak yang sama atau berbeda? Tentang kreativitas seseorang, kenapa antara yang satu dengan yang lain berbeda. Mengapa ada yang “wah” dan ada yang “biasa-biasa” saja? Tentang beberapa bangsa di bumi ini; kenapa ada yang bisa menciptakan peradaban dan teknologi tinggi, tapi kita tidak atau belum bisa seperti itu? Apa karena makanan, lauk, minuman, orangtua atau keluarga? Ataukah semua itu karena takdir?
Ada hal menarik, sahabat penanya itu ternyata seorang gadis yang baru lulus SMA, dan sedang magang kerja di sebuah perusahaan. Itu artinya pemikirannya sudah cukup maju, karena kebanyakan gadis seumur dia, yang dipikirkan hanya tentang pacar atau hal-hal sepele dalam pergaulan.
Kemajuan hidup bisa kita peroleh dari seberapa besar atau sulit pertanyaan yang ingin kita jawab dalam kehidupan ini. Maksudnya, diri kita yang menjadi jawaban pertanyaan kita sendiri.
Misalnya, pertanyaan: “Apakah semua orang memiliki kesempatan sukses yang sama?” Kita bisa menjawabnya, apakah diri kita bisa sukses dengan segala hambatan dan keterbatasan yang ada. Jika kita bisa menjadi diri yang “sukses”, maka pertanyaan di atas akan terjawab dengan sendirinya. Demikian pula sebaliknya, jika ternyata “gagal”, pasti kita juga memiliki data penyebab mengapa kita “gagal”.
Fitrah Kecerdasan
Untuk mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan di wal tulisan ini, penulis akan mengutip ungkapan Buckminster Fuller: All children are born geniuses; 9.999 out of every 10.000 are swiftly inadvertently degeniusized by grownups.
Jadi, pada awalnya kita semua sebenarnya memiliki kejeniusan, atau bisa dikatakan memiliki kemampuan otak yang sama. Namun, seiring pertumbuhan, kejeniusan itu terkikis atau menjadi terpendam secara tidak disadari, karena pengaruh lingkungan, baik keluarga, masyarakat, dan utamanya pendidikan.
Untuk lebih jelasnya, saya akan mengisahkan seperti apa yang saya peroleh dari
Dalam sebuah Talk Show Nasional bersama Kak Seto Mulyadi, Ketua Komnas Perlindungan Anak (24/1), penulis mengingat sebuah cerita yang tertuang dalam pertemuan itu.
Alkisah, di sebuah hutan, sebut saja Alas Roban, yang dihuni beragam jenis hewan, menteri pendidikan Alas Roban memberlakukan kurikulum sekolah yang sama untuk semua jenis hewan. Semua penghuni hutan itu dianggap sama, hingga harus mempelajar materi sama, dengan porsi yang sama pula.
Ketika pelajaran memanjat pohon digelar, harimau dengan mudah naik, sementara itik harus bersusah payah memanjat, bahkan tidak juga berhasil. Monyet juga hampir menangis ketika mengikuti pelajaran menyelam, sementara katak dengan mudahnya masuk ke dalam air. Demikian pula harimau yang nyaris tenggelam ketika mati-matian mengikuti pelajaran renang, sementara itik dengan gembiranya berenang di atas air.
Ketika pelajaran bergantung di pohon, monyet dengan senangnya berayun-ayun di dahan, sementara buaya dengan susah payah hanya bisa meraba-raba akarnya. Begitu seterusnya.
Akibatnya, lambat laun mereka lupa tentang keahlian unik yang ada pada diri mereka sejak lahir, karena harus mempelajari sesuatu yang bukan bakat atau bidangnya, dan terkadang dipaksakan. Akhirnya, itik menjadi tidak bisa berenang, katak lupa dengan keahliannya menyelam, monyet tak tahu cara memanjat pohon, dan harimau pun hanya bisa mengaum.
Begitu pula manusia. Karena dianggap sama dengan lainnya, dan di masa pertumbuhan kita harus belajar tentang sangat banyak hal yang belum tentu sesuai dengan keunikan diri kita. Akhirnya jadilah diri kita yang sekarang; yang ketika ditanya, “Apa cita-citamu?” Kita hanya geleng-geleng kepala. “Apa bakat atau talentamu?” Kita juga menjawab, “Tidak tahu….”
Keunikan diri masing-masing pribadi pasti berbeda, dan berbedaan itu harus dipahami. Bahkan pada anak kembar sekalipun, tidak bisa disamakan dalam segala hal. Tetap saja ada perbedaan bawaan lahir yang harus diperhatikan.
Adi W. Gunawan dalam artikelnya Born To Be A Genius but Conditioned To Be An Idiot, menjelaskan bahwa anak dilahirkan dengan potensi menjadi seorang jenius. Namun proses pendidikan yang salah kerap membuat anak tak mampu mengembangkan potensinya secara optimal.
Jika ini terjadi, menurut Adi, akan menyebabkan anak memiliki konsep diri yang buruk dengan ciri-ciri: tidak atau kurang percaya diri, takut berbuat salah, tidak berani mencoba hal-hal baru, takut terhadap penolakan, dan anak menjadi tidak suka belajar atau benci sekolah.
Kemungkinan besar, karena proses pendidikan dan pengaruh lingkunganlah, kita yang awalnya memiliki kejeniusan yang sama, namun setelah dewasa menjadi memiliki kualitas yang berbeda.
Mari ibaratkan dengan benih tanaman. Jika ia tumbuh di tanah yang subur dengan iklim yang sesuai, bisa dipastikan ia akan tumbuh seperti yang diharapkan. Tapi meski benih unggul, buatan impor pula, namun jika ditanam di tanah yang tandus dan iklimnya tidak sesuai, pastilah benih itu tidak akan tumbuh, bahkan mati.
Kreatifitas Unggul
Tentang kreativitas seseorang atau suatu bangsa, mengapa ada yang bisa menciptakan teknologi tinggi sementara yang lain tidak? Menurut penulis adalah karena kebudayaan, sejarah sosial dan ekonomi, sistem pendidikan, nenek moyang, dan nilai hidup yang dianut masing-masing bangsa.
Setiap bangsa memiliki ciri sendiri. Bangsa Indonesia dijajah sekitar 3,5 abad, dan dulunya berasal dari kerajaan-kerajaan yang bernuansa Hindu, Budha dan Islam. Nenek moyang kita juga petani dan pelaut, sesuai kondisi alamnya. Jadi, kita boleh kagum dengan Amerika yang bisa membuat satelit, roket dan mendaratkan manusia di bulan, namun kita melupakan Candi Borobudur yang masuk dalam tujuh keajaiban dunia hasil karya digjaya nenek moyang kita.
Kita mungkin kagum dengan bangsa Jepang yang bisa merajai dunia industri elektronik dan kendaraan bermotor, namun kita juga harus bangga memiliki kekayaan budaya dan etnik yang beragam. Mungkin, kebanggaan diri kita kian sirna, karena bangsa kita masih tenggelam oleh laju globalisasi. Hingga kita lupa bahwa kita juga memiliki keunikan tersendiri.
Inilah, karena kita belum mengoptimalkan potensi dan keunikan diri, dan cenderung memilih meniru budaya atau teknologi luar yang katanya lebih canggih. Boleh-boleh saja kita melakukan alih teknologi agar tidak terlalu ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain, tapi kita juga tak boleh lupa bahwa basis negara adalah pertanian dan kelautan.
Makanan, lauk, minuman, orangtua atau keluarga, sangat tidak berkolerasi langsung dengan “keluarbiasaan” seseorang atau suatu bangsa. Kita bisa bercermin diri sebab bangsa kita yang masih tertinggal dari bangsa lain. Mungkin karena kita masih malas, kurang belajar, terlalu pasrah pada keadaan, dan kurang maksimal menggunakan kejeniusan otak kita.
Ada sebuah anekdot menyebutkan: Kalau otak manusia itu ada yang menjual, maka yang paling mahal harganya adalah otak orang Indonesia. Tahu alasannya? Karena otak orang Indonesia masih orisinil dan segar (fresh), sebab jarang dipakai. Sungguh menyedihkan!
Lalu, seberapa besarkah peran takdir? Seorang mentor pernah berkata, “Takdir akan turun jika kita telah berusaha semaksimal mungkin.” Betul! Karena Allah SWT telah mengaskan, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (Qs. ar-Ra’d [13]: 11)
Sudah seharusnya kita bisa memahami keunikan diri masing-masing. Melihat bahwa kita, sebagai individu maupun bangsa, memiliki potensi dan keunggulan tersendiri, yang bisa kita berdayakan agar menjadi manusia atau bangsa yang luar biasa.
Jika kita fokus pada kelebihan diri, maka kemajuan bisa kita peroleh. Namun jika kita hanya melihat kekurangan atau keterbatasan yang kita miliki, bisa dipastikan kemajuan atau kesuksesan akan kian menjauh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar