Mewujudkan Pikiran Gila
RHR Dodi Sarjana
Pemimpin Redaksi Tribun Pekanbaru
STEREOTIP. Istilah ini tentu tak asing lagi di
telinga kita. Kepercayaan bahwa seluruh anggota kelompok tertentu memiliki
sejumlah karakteristik yang sama, dianggap sebangun dan homogen, sudah sejak
lampau diyakini banyak orang.
Di kalangan orang asing misalnya, dalam kajian
psiko-sosial ada semacam konsensus bahwa orang Jerman pandai di bidang teknik,
sementara orang Irlandia agak tumpul pemikirannya, dan semua wanitanya
emosional. Orang Perancis sangat romatis, sedang orang Negro kurang
bertangungjawab. Itulah contoh stereotip.
Siapapun dan apapun yang keluar dari stereotip,
dianggap aneh dan nyleneh. Ia menjadi tidak umum dan cenderung dihindari banyak
orang. Dari sinilah, awal manusia terjebak dalam prasangka-prasangka buruk
terhadap apa saja.
Dalam perspektif social cognition, pakar psikologi
sosial Russell Spears menyebutkan, manusia berhadapan dengan realitas sosial
yang kompleks, sehingga memiliki kecenderungan membagi sesuatu dalam
kategorisasi atau kelompok untuk menyederhanakan persoalan.
Stereotip mendorong manusia menjadi pelit dan malas
berpikir, sehingga beresiko banyak menuai kesalahan dalam penyimpulan. Namun
stereotip tetap dipakai karena menghemat energi. Sungguh ini pendapat yang
menyesatkan.
Dalam bisnis, kecenderungan stereotipisasi juga
membudaya. Orang maunya sesuai pakem saja. Asumsi-asumsi menggiring pebisnis
pada pemahaman bahwa informasi, kegiatan bisnis yang stereotip selama ini,
dianggap lebih cepat diproses dan direspon pasar. Benarkah demikian?
Kita semua pasti mengenal baik nama Tirto Utomo
dengan bisnis Aqua-nya atau Sosro dengan teh botolnya. Bisnis mereka, pada
awalnya diangap bisnis gila karena menyimpang dari stereotip. Di luar
kebiasaan, mereka membisniskan barang yang umum, tapi tak umum. Tapi siapa
sangka, air yang melimpah ruah di alam semesta menjadi “semahal” emas. Teh yang
biasanya diminum tak lama setelah diseduh, menjadi nikmat disimpan berlama-lama
di botol.
Konon, perilaku Tirto dan Sosro pernah dianggap
lelucon bisnis yang absurd. Namun kini, orang berduyun-duyun mengikutinya. Dan
ketika orang mengalami euphoria, barangkali kedua orang perintis itu sudah lari
lagi dengan konsep gilanya yang lain.
Contoh ide gila yang lain adalah larutan penyegar
Cap Kaki Tiga. Produk yang berisi semacam air ini juga terbilang absurd. Tapi
lihatlah “khasiatnya”, ia mampu mengusir panas dalam. Buntutnya, kemasan air
itu juga laris bak kacang goreng.
Psikolog dunia Sigmund Freud dengan teori
psikoanalisanya mengemukakan, dalam diri setiap manusia sebenarnya terdapat
syaraf-syaraf impulsif yang mendorong manusia untuk berbuat dan beraktivitas.
Dorongan kuat syaraf ini bisa membuat manusia ‘gila’ dan mewujudkan
aktivitasnya dengan amat sangat inovatif plus kreatif.
Selama ini perjalanan waktu telah membuktikan bahwa
bisnis “orgil” (baca: orang-orang dengan ide gila) tahan segala cuaca. Tak
tergerus krisis, pasar bebas dan reaganisme. Ia tak takut apapun, karena punya
banyak amunisi inovasi untuk ditembakkan menjawab perubahan zaman.
Menyiasati perubahan tren kehidupan dan tren bisnis,
tak cukup hanya dengan pakem yang ada. Atau hanya mengandalkan jalinan
stereotipisasi yang sudah mapan. Perlu menggali sesuatu yang lain, yang selama
ini luput dari perhatian orang. Apa kira-kira itu? Berpikirlah “gila” supaya
ide gila seperti milik Tirto, Sosro dan Kaki Tiga bisa lahir.
Menciptakan sesuatu yang berbeda dan baru, selalu
mampu membuat orang terhenyak untuk melirik dan mencoba produk kita, ketimbang
melakukan “penyeragaman” dengan maksud mengekor sukses produk yang suda ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar