Sabtu, 26 Januari 2013

Jangan Kambing Hitamkan anak bandel




Jangan Kambinghitamkan Anak Bandel

 


Dia Hidayati Usman MA
Dosen STAI Shalahuddin al-Ayyubi Jakarta
Banyak buku ditulis tentang cara mendidik anak. Tapi tulisan mengenai kesalahan mendidiknya jarang kita temukan. Kalaupun ada, jumlahnya hanya sedikit. Sehingga tak heran jika banyak orangtua sangat mudah langsung menyalahkan/mengkambinghitamkan anak ketika melihat si anak sedikit bandel.
Saat Umar ibn Khaththab RA mejadi khalifah, pernah datang seorang ayah melaporkan perbuatan anaknya yang dianggap tidak baik. Umar tak lantas membenarkan laporan tersebut. Ia minta didatangkan anak yang diadukan itu. Dan dari laporan anak, Umar tahu, ada kesalahan si ayah dalam mendidik. Di antaranya, terlalu kasar dan kurang peduli (cuek).
Karena itu, ada baiknya kita perhatikan beberapa kesalahan berikut ini yang umumnya terjadi dalam mendidik anak:
Pertama, berlebihan memenuhi keinginan anak. Tidak sedikit orangtua yang mengira bahwa mewujudkan semua keinginan anak adalah hal terbaik. Padahal sebaliknya. Pada usia tahun pertama, si kecil mungkin masih belum mengerti. Tapi menginjak tahun kedua, ia akan mulai paham dan banyak meminta. Di masa itulah orangtua dapat membiasakan anak untuk memahami batasan hidup, tentang pemborosan, hak orang lain, hingga soal keharusan bersedekah.
Kedua, perfeksionis. Kesalahan terbesar bagi orangtua adalah menuntut anak agar selalu tampil sempurna. Di sekolah ia harus ranking pertama. Tak boleh gagal sama sekali. Anak dipaksa bekerja keras mewujudkannya.
Memang, siapapun pasti ingin anaknya sempurna dan terbaik. Tapi ketika anak tak mampu menggapai harapan, maka ia akan merasa lemah, jiwanya pun akan ditunggangi rasa kekurangan. Sebaiknya, orangtua cukup memberi motivasi dan menumbuhkan jiwa optimis anak agar ia sukses dan sempurna menyikapi segala hal yang dihadapinya.
Ketiga, over doktrin. Maksudnya, berlebihan dalam memberi perhatian kepada anak, sampai pada tingkat mengekang kebebasan bergeraknya. Contoh, ketika si kecil sedang asik bermain dengan mainan yang kesenangannya, tiba-tiba ibu memanggil dan memaksanya untuk mandi, atau melakukan hal lain.
Anak biasanya akan meronta dan menangis. Ia akan merasa telah terampas dan kehilangan saat yang paling menyenangkan. Jika ketidakbebasan itu sering ia rasakan, niscaya jiwa kemandiriannya akan rapuh. Ia akan terus bergantung pada orangtua dalam setiap tantangan dan kesempatan yang dihadapi. Ia tak akan pernah bisa membuat keputusan sendiri.
Keempat, over punishment. Orangtua cenderung mudah memberi hukuman yang tidak sesuai dengan tingkat kesalahan anak. Ketika sebuah kesalahan lahir karena ketidakmatangan anak secara akal, maka sangat tak pantas orangtua menghukumnya.
Anak seperti itu, cukup diperingati dan diarahkan. Berbeda dengan anak yang sudah matang akal dan fisik, tapi sering mengulang kesalahan. Ia patut diberi hukuman ringan dan bertahap, sampai pribadinya membaik dan menyadari kesalahannya.
Kelima, lalai. Banyak orangtua tidak menyempatkan diri untuk bermain bersama anak. Padahal, anak sangat butuh kehangatan bermain bersama orangtuanya. Dengan aktivitas ini, jiwa anak akan tenang dan bahagia, karena banyak hal yang bisa ditanyakan dan dibagi saat bermain bersama.
Dengan bermain bersama, orangtua juga akan tahu perkembangan jiwa dan fisik anak secara langsung. Hingga kemudian orangtua akan mudah membelikan mainan yang cocok dan disenangi anaknya.
Keenam, membeda-bedakan perlakuan antaranak. Kecenderungan ini memang agak sulit untuk dihindari, karena kadang terjadi akibat perbedaan usia dan tuntutan anak. Namun bagaimanapun juga, orangtua harus bijak menyikapinya, agar tak timbul rasa iri dan permusuhan di antara anak. Patut diingat, wilayah ini sangat sensitif, dan menuntut kehati-hatian orangtua melakoninya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar